“Aku
sudah ada janji, sepulang kelas ada kumpul sama anak-anak organisasi daerah.
Cuma di angkringan dekat pom bensin kok, kamu nggak usah khawatir.”
Aku
masih terngiang kata Diana yang terdengar menenangkan namun tetap meresahkanku.
Sepulang kelas adalah empat jam yang lalu. Aku tahu benar jadwal Diana. Hari
ini dia selesai kelas jam delapan malam dan sampai sekarang dia belum pulang ke
kost. Kumpul macam apa sampai selama ini? Oke, mungkin terjadi kemunduran waktu
dari jadwal sebelumnya, tetapi tetap saja ini sudah larut malam. Memangnya apa
saja yang dibicarakan di perkumpulan itu sampai harus selama ini? Kenapa juga
Diana tidak izin pulang terlebih dahulu?
Lagi,
aku mencoba menghubungi ponsel Diana. Namun, tetap saja tidak bisa. Ponsel anak
itu mati membuatku benar-benar khawatir. Pikiran burukku mulai menjelajah ke
mana-mana. Kalau sampai dia kenapa-kenapa, aku tidak bisa membayangkan!
Kuraih
hoodie dan kerudung instan di balik pintu kamar, lantas mengambil kunci
motor di kotak aksesoris. Aku harus mencari Diana sekarang juga!
***
Motorku
melaju dengan kecepatan sedang. Panik atau tidak, aku tetap harus memikirkan
keselamatanku. Sebenarnya aku sedikit takut karena jalanan sudah sepi.
Angkringan yang dimaksud Diana masih sekitar satu kilometer lagi, jika memang
benar mereka berkumpul di situ. Aku harus segera sampai di sana.
Namun,
sesuatu menarik perhatian mataku saat melihat seorang perempuan berdiri di
tengah jalan sembari memejamkan mata. Suara klakson mobil yang hendak melewati
jalan di lajur sebelah itu terngiang panjang, tetapi orang itu benar-benar tak
bergerak. Apakah dia memang sedang berusaha bunuh diri?
Sesegera
mungkin aku menepikan motorku. Mobil yang mengklakson panjang tadi untungnya
mengerem sehingga tak sampai menabrak perempuan itu. Cepat-cepat aku
menyeberang, mendorong tubuhnya ke tepi dan membuatnya limbung. Tidak banyak
orang yang peduli dengan kejadian drama tadi sehingga tidak terlalu membuat
kami jadi pusat perhatian.
“Kalau
kamu bodoh, cukup ditunjukkan kepada dirimu sendiri saja! Jangan di hadapan
orang-orang!” bentakku marah. Sekujur tubuhku bergetar, barangkali dia juga
sama.
“YA!
AKU BODOH! AKU BODOH SAMPAI ORANG TUAKU MAU MEMBUANGKU! APA MAUMU, HA?”
Darahku
mendidih. Emosiku sudah sampai ke puncak ubun-ubun. Aku tidak suka situasi
seperti ini. “Jangan bunuh diri. Mati karena bunuh diri nggak akan bawa kamu
dalam kedamaian,” kataku.
Dia
hanya diam dengan wajah memerah padam. Menambah penampilannya yang semakin
acak-acakan. Rambutnya yang kusut, pakaiannya yang tidak rapi, ekspresinya
benar-benar sangat mendukung.
“Kamu
cuma butuh telinga sewaktu kamu punya masalah. Cari telinga yang tepat.
Masalahmu nggak minta kamu buat bunuh diri, tapi minta kamu buat nyelesein!
Bunuh diri nggak menyelesaikan apa-apa.”
Dia
menatapku dengan wajah menantang. “Kamu nggak tahu masalahku, jadi nggak usah
banyak omong!”
“So,
will you let me know? Jangan mati dulu. Kalau kamu mau ngasih tahu, kita ketemu
lagi besok.”
Ponsel
di saku rokku tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Diana.
Ta,
kamu di mana? Aku pulang kok kamar kosong?
Aku
refleks menepuk jidat. Urusanku dengan perempuan ini harus segera diselesaikan.
“Kalau
kamu merasa mati emang jalan terbaik, silakan mati. Tapi aku harap kamu nggak
akan pernah menyesal dan pengen hidup lagi. Silakan mati tanpa nama dan hal-hal
yang membuat kamu berarti.”
Aku
membalikkan tubuh, hendak menyeberang ke tempat di mana aku menepikan motorku.
Baru
saja aku hendak melangkahkan kaki, dia menarik tanganku, membuatku menoleh
kepadanya. Kali ini wajahnya tampak memohon. “Mau jadi telinga buat masalahku?”
tanyanya.
“Me?”
Dia mengangguk dengan penuh keyakinan. “Kebetulan besok aku nggak ada kelas.
Kamu bisanya jam berapa?” tanyaku sambil tersenyum lega.
“Jam
satu siang, di Taman FISIP.”
Aku
mengangguk tenang.
***
“Kemarin,
kita belum sempat kenalan. Namaku Gatari,” dia memperkenalkan diri dengan wajah
senang meskipun aku masih bisa melihat mata pandanya akibat semalam, mungkin?
Aku
benar-benar mendatanginya di Taman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik seperti keinginannnya. Awalnya aku kurang yakin fakultas
yang dia maksud itu fakultas yang sama dengan universitas di tempat aku menimba
ilmu atau tidak karena dia tidak mengatakan namanya. Untungnya aku benar dan
bisa menemukan dia di sini.
“Aku
Sasmita. Panggil Mita aja,” balasku memperkenalkan diri.
Dia
tampak menghirup napas dalam-dalam. Aku tahu dia sedang bersiap-siap untuk
bercerita. Memikirkan masalah bagian mana yang akan ia ceritakan kepadaku. Atau
barangkali ia sedang berpikir bagaimana cara menyusun kata yang tepat untuk
menceritakan semuanya.
“Makasih
udah datang ya, Mita.” Aku mengangguk sambil tersenyum. “Jujur, aku juga nggak
tahu harus mulai cerita dari mana. Masalahku yang pertama nggak jauh-jauh dari
keluarga, Mit. Aku punya dua kakak. Kami semua perempuan, tetapi dengan
pencapaian yang berbeda-beda. Kakakku yang pertama, dia sangat cerdas. Nggak
ada orang yang bisa meragukan kemampuan otaknya. Waktu seleksi masuk perguruan
tinggi, dia lolos di PTN yang masuk top 3 di Indonesia. Tapi di satu sisi, dia
juga dapet beasiswa buat kuliah kedokteran di London. Akhirnya dia ambil
beasiswa itu. Sekarang, dia udah jadi dokter hebat.
“Kakakku
yang kedua, dia pilih buat ambil perguruan tinggi di Indonesia aja. Kemampuan public
speaking-nya nggak bisa diragukan lagi. Dia ambil Hubungan Internasional
dulu, dan sekarang udah kerja di Kedubes Indonesia di Jepang. Kariernya
bener-bener bikin orang-orang kagum, termasuk aku sendiri. Sedangkan aku
sendiri, kacau. Aku gap year dua tahun, sampai akhirnya aku bisa kuliah
di sini, dan meskipun udah di sini, IP-ku tiap semester nggak seberapa.
Evaluasi tahap satu kemarin, aku kena peringatan, ini bikin orang tuaku marah
besar dan bikin mereka malu ngakuin aku sebagai anaknya.”
Dia
menatap langit, menahan tangis. Aku mengulum bibir sambil menepuk pundaknya.
Kucatat masalah satu: perbandingan.
“Di
sini juga, aku nggak punya temen. Semuanya punya ego tinggi. Aku nggak bisa
berbaur sama mereka. Mereka semua menghindar mungkin karena aku nggak bisa
mereka manfaatin. Aku bodoh. Bahkan tiap mau kelompokan aja aku susah dapet
temen. Sampai ketua angkatanku kadang harus turun tangan.”
Aku
merangkul bahunya. Kucatat lagi masalah kedua: dia kesepian.
“Di
samping semua itu, aku cari penghiburan sendiri. Aku punya pacar. Dia yang
awalnya kukira baik, yang mau nerima aku sewaktu teman-temanku ngejauhin aku,
ternyata sama sekali di luar dugaanku. Hubungan kami bener-bener toxic. Bahkan
aku sempet ngalamin beberapa kekerasan fisik. Nggak jarang juga aku dilecehin.
Aku takut bilang ke siapa-siapa. Keberadaanku nggak diterima di mana-mana.
Kalau aku ngomong, mungkin nggak ada juga orang yang mau dengar.”
Kali
ini aku memeluknya. Tangisnya sudah tidak terbendung lagi. “Gatari, kamu nggak
sendirian. Ada aku. Ada Allah yang selalu ngasih kita kemudahan. Semuanya bakal
baik-baik aja. Kita laluin ini bareng-bareng,” ujarku menenangkan.
***
Aku
sadar betul untuk mengatasi masalah Gatari, aku tidak mampu melakukannya
sendiri. Pertama yang kulakukan adalah mencarikannya psikolog. Rencana
selanjutnya, aku ingin mencoba meminta dukungan dari keluarga Gatari sendiri.
Rencana ini sudah kudiskusikan bersama Diana dan ia bersedia membantuku untuk
menghubungi keluarga Gatari sementara aku mencoba terus menemaninya.
Gatari
rajin kutemani ke medical centre untuk menemui seorang psikolog. Baik
aku maupun Gatari merasa sangat terbantu. Setiap malam sebelum tidur, Gatari
ditugaskan untuk mengisi buku harian yang diberikan oleh psikolog yang kami
datangi, untuk menuliskan segala sesuatu yang
dialami di setiap harinya.
Kadangkala,
Gatari juga tidak menolak saat kuajak menghadiri mentoring. Dia mengaku
terbantu dan bersyukur bertemu teman-teman baru, membuatnya tak kesepian
seperti dahulu. Raut wajahnya bisa kulihat berubah semakin hari. Semakin ceria
dan penuh semangat.
Di
samping mengikutiku saat ada mentoring, Gatari juga sering ikut aku
mendatangi kajian-kajian baik yang diadakan pihak kampus atau bukan. Meskipun
belum mengenakan hijab, Gatari juga mulai rajin menjalankan salat lima waktu
padahal ia mengaku sebelumnya sangat jarang menunaikan salat.
“Semakin
aku ngikutin kegiatan kamu, aku jadi mikir. Aku kebanyakan maksiat kali, ya?
Aku jauh dari Allah kali, ya? Kayaknya Dia marah sama aku karena semua yang aku
kejar ini semata-mata cuma bersifat duniawi yang ternyata bikin capek hidup.”
Aku
tidak mengiyakan, tidak mau menilainya seperti itu. Juga tidak ingin melukai
hatinya. Gatari hanya perlu pendekatan secara pelan-pelan.
“Allah
nggak marah, Gatari. Nggak ada ujian yang Allah berikan melainkan karena
umatnya bisa melaluinya. Kamu pasti bisa. Buktinya sekarang kamu merasa lebih
baik, kan?” Gatari diam. Ia tersenyum sendu. “Jangan nyoba bunuh diri lagi, ya?
Bunuh diri itu nggak cuma menghentikan masalah kamu. Kebahagiaan kamu juga akan
berhenti. Kesenangan kamu juga berhenti. Waktu buat memperbaiki diri juga
terputus. Kesempatan ini, cuma kita punyai satu kali. Jangan pernah sia-siakan.
Banyak orang sakit di luaran sana yang pengen sembuh, manfaatkan hidup kita,
kesehatan kita, dengan sebaik-baiknya.”
Gatari
tersenyum manis. “Ajari aku bersyukur, Mit,” pintanya.
“Satu
hal yang mungkin bisa jadi motivasi diri, sesuatu yang ada di tanganmu sekarang
dan kamu sesali, bisa jadi adalah lanjutan kata ‘semoga’ milik orang lain
sekarang. Allah mencintai hamba-Nya. Bersyukurlah dengan senantiasa mencoba
meraih cinta-Nya, Gatari.”
“Ajari
aku, Sasmita. Ajari aku.”
Aku
mengambil sesuatu dari tasku, yang sudah kusiapkan sejak lama. Seakan aku tahu
betul hari ini pasti akan ada. Aku mengeluarkan sebuah kain yang mungkin
sanggup Gatari beli di mana-mana. Namun, hari ini aku ingin membuat kain itu
memiliki makna lebih.
Gatari
tersenyum menerimanya.
“Kamu
cantik kalau pakai ini. Tapi jangan jadikan alasan pakai ini biar kamu terlihat
cantik. Pakai ini, buat menjalani kewajiban Allah sebagai perempuan Islam yang
sejati. Mari meraih cinta Allah bersama, Gatari.”
Sejak
hari itu Gatari resmi berhijab. Mencoba berhijab pada dirinya maupun hatinya.
Sejak
hari itu juga, aku tidak pernah melihat Gatari lagi di kampus. Bahkan sampai
kudatangi di gedung fakultasnya, Gatari tidak ada. Di website forlap.ristekdikti,
aku menemukan namanya, resmi mengundurkan diri dari kampus.
***
[Dua tahun
kemudian]
Aku
baru saja keluar dari medical centre untuk mencari tahu masalah perutku
yang sakit tidak tertahankan. Penyakit maag-ku kambuh. Dokter bilang agar aku
jangan sampai membahayakan kesehatan diri sendiri karena terlalu fokus
mengerjakan skripsi. Aku hanya mengiyakan dan menerima resep untuk kutebus di
bagian farmasi.
Tiba-tiba,
seseorang meraih pundakku, secara refleks membuatku berbalik ke belakang.
Kutemukan wajah orang yang tidak asing. Dia psikolog yang dulu membantuku
mengatasi masalah Gatari.
“Kamu
Sasmita, kan?”
“Ada
apa ya, Bu?” Aku mengangguk ragu. Kenapa dia masih mengenaliku?
“Saya
mau minta maaf sekaligus ngasih ini.” Dia memberiku sebuah buku harian yang
sama persis dengan milik Gatari yang rutin dia isi setiap hari. “Dua tahun yang
lalu, Gatari sempat bilang ke saya. Hubungan dia dan keluarganya jauh lebih
baik katanya. Dia nggak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, sehingga waktu orang
tuanya ngajak dia pindah, dia mau. Sebelumnya, dia balikin buku ini ke saya.
Katanya suatu saat kamu bakal butuh buku ini. Bodohnya, buku itu saya letakkan
di tempat barang-barang lama sampai saya temukan hari ini dan baru bisa saya
berikan ke kamu sekarang. Terimalah, Sasmita. Maafkan saya karena nggak
langsung memberikan ke kamu.”
Aku
menerimanya. “Terima kasih,” kataku dengan sopan.
Aku
pulang dan memutuskan untuk membaca buku itu di kamar. Diana sedang pulang
kampung sehingga aku bisa sedikit leluasa. Buku itu, benar-benar menceritakan
keseharian Gatari, membuatku merasa menonton film dokumenter yang tokohnya
adalah aku dan dia. Sampai pada catatan terakhir, aku tersentak sendiri.
8 Februari 2018
Semenjak
aku berbaikan dengan Mama & Papa, mereka menawariku untuk pindah. Bukan
untuk apa-apa, namun lingkungan di sini katanya nggak baik buatku. Keluarga
besarku kebanyakan di sini, dan mereka akan terus berceloteh tentang
perbandingan yang membuat orang tuaku khawatir jika suatu saat aku kembali down. Keputusan mereka kutunda-tunda sebab aku belum
sanggup mengatakannya kepada Sasmita.
Hari
ini, setelah aku menerima kerudung dari Sasmita, aku memutuskan untuk
mengiyakan keputusan itu. Aku juga minta Mama & Papa agar aku bisa
memperdalam agamaku lagi nantinya. Meraih cinta Allah, seperti yang Sasmita
bilang. Mereka benar-benar mendukungku, membuatku nggak menyesali keputusan
itu.
Namun,
sewaktu aku ingin berpamitan kepada Sasmita, aku merasa nggak sanggup. Dia
nggak bisa aku ucapin “selamat tinggal, Mit”. Setelah banyak hal yang dia
lakuin buatku, jujur aku nggak bisa. Bahkan buat kirim pesan atau telepon
sekalipun. It hurts me, or maybe
us.
Maaf,
Mit. Aku pergi diam-diam. Suatu saat aku bakal kembali. Ayo kita meraih cinta
Allah sama-sama meskipun udah nggak berpijak di tanah yang sama. Ukhuwah ini nggak akan pernah terputus sampai kapan
pun. Saudariku, sampai bertemu kembali.
Aku
menghela napas, tanpa sadar mengalir bulir bening di pipiku. Semoga, Gatari.
Semoga kita bisa berjumpa kembali.
SELESAI
Well, sedikit cerita. Cerpen ini adalah cerita pendek yang pertama kubuat di tahun 2020 dalam rangka untuk mengikuti perlombaan yang diadakan oleh rohis sekolah vokasi di kampusku. Terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di lain cerita :)
-evi her
Komentar
Posting Komentar