Langsung ke konten utama

[Cerpen] | Cerpen Islami: Saudariku, Sampai Bertemu Kembali



“Aku sudah ada janji, sepulang kelas ada kumpul sama anak-anak organisasi daerah. Cuma di angkringan dekat pom bensin kok, kamu nggak usah khawatir.”
Aku masih terngiang kata Diana yang terdengar menenangkan namun tetap meresahkanku. Sepulang kelas adalah empat jam yang lalu. Aku tahu benar jadwal Diana. Hari ini dia selesai kelas jam delapan malam dan sampai sekarang dia belum pulang ke kost. Kumpul macam apa sampai selama ini? Oke, mungkin terjadi kemunduran waktu dari jadwal sebelumnya, tetapi tetap saja ini sudah larut malam. Memangnya apa saja yang dibicarakan di perkumpulan itu sampai harus selama ini? Kenapa juga Diana tidak izin pulang terlebih dahulu?
Lagi, aku mencoba menghubungi ponsel Diana. Namun, tetap saja tidak bisa. Ponsel anak itu mati membuatku benar-benar khawatir. Pikiran burukku mulai menjelajah ke mana-mana. Kalau sampai dia kenapa-kenapa, aku tidak bisa membayangkan!
Kuraih hoodie dan kerudung instan di balik pintu kamar, lantas mengambil kunci motor di kotak aksesoris. Aku harus mencari Diana sekarang juga!
***
Motorku melaju dengan kecepatan sedang. Panik atau tidak, aku tetap harus memikirkan keselamatanku. Sebenarnya aku sedikit takut karena jalanan sudah sepi. Angkringan yang dimaksud Diana masih sekitar satu kilometer lagi, jika memang benar mereka berkumpul di situ. Aku harus segera sampai di sana.
Namun, sesuatu menarik perhatian mataku saat melihat seorang perempuan berdiri di tengah jalan sembari memejamkan mata. Suara klakson mobil yang hendak melewati jalan di lajur sebelah itu terngiang panjang, tetapi orang itu benar-benar tak bergerak. Apakah dia memang sedang berusaha bunuh diri?
Sesegera mungkin aku menepikan motorku. Mobil yang mengklakson panjang tadi untungnya mengerem sehingga tak sampai menabrak perempuan itu. Cepat-cepat aku menyeberang, mendorong tubuhnya ke tepi dan membuatnya limbung. Tidak banyak orang yang peduli dengan kejadian drama tadi sehingga tidak terlalu membuat kami jadi pusat perhatian.
“Kalau kamu bodoh, cukup ditunjukkan kepada dirimu sendiri saja! Jangan di hadapan orang-orang!” bentakku marah. Sekujur tubuhku bergetar, barangkali dia juga sama.
“YA! AKU BODOH! AKU BODOH SAMPAI ORANG TUAKU MAU MEMBUANGKU! APA MAUMU, HA?”
Darahku mendidih. Emosiku sudah sampai ke puncak ubun-ubun. Aku tidak suka situasi seperti ini. “Jangan bunuh diri. Mati karena bunuh diri nggak akan bawa kamu dalam kedamaian,” kataku.
Dia hanya diam dengan wajah memerah padam. Menambah penampilannya yang semakin acak-acakan. Rambutnya yang kusut, pakaiannya yang tidak rapi, ekspresinya benar-benar sangat mendukung.
“Kamu cuma butuh telinga sewaktu kamu punya masalah. Cari telinga yang tepat. Masalahmu nggak minta kamu buat bunuh diri, tapi minta kamu buat nyelesein! Bunuh diri nggak menyelesaikan apa-apa.”
Dia menatapku dengan wajah menantang. “Kamu nggak tahu masalahku, jadi nggak usah banyak omong!”
So, will you let me know? Jangan mati dulu. Kalau kamu mau ngasih tahu, kita ketemu lagi besok.”
Ponsel di saku rokku tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Diana.
Ta, kamu di mana? Aku pulang kok kamar kosong?
Aku refleks menepuk jidat. Urusanku dengan perempuan ini harus segera diselesaikan.
“Kalau kamu merasa mati emang jalan terbaik, silakan mati. Tapi aku harap kamu nggak akan pernah menyesal dan pengen hidup lagi. Silakan mati tanpa nama dan hal-hal yang membuat kamu berarti.”
Aku membalikkan tubuh, hendak menyeberang ke tempat di mana aku menepikan motorku.
Baru saja aku hendak melangkahkan kaki, dia menarik tanganku, membuatku menoleh kepadanya. Kali ini wajahnya tampak memohon. “Mau jadi telinga buat masalahku?” tanyanya.
Me?” Dia mengangguk dengan penuh keyakinan. “Kebetulan besok aku nggak ada kelas. Kamu bisanya jam berapa?” tanyaku sambil tersenyum lega.
“Jam satu siang, di Taman FISIP.”
Aku mengangguk tenang.
***
“Kemarin, kita belum sempat kenalan. Namaku Gatari,” dia memperkenalkan diri dengan wajah senang meskipun aku masih bisa melihat mata pandanya akibat semalam, mungkin?
Aku benar-benar mendatanginya di Taman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik seperti keinginannnya. Awalnya aku kurang yakin fakultas yang dia maksud itu fakultas yang sama dengan universitas di tempat aku menimba ilmu atau tidak karena dia tidak mengatakan namanya. Untungnya aku benar dan bisa menemukan dia di sini.
“Aku Sasmita. Panggil Mita aja,” balasku memperkenalkan diri.
Dia tampak menghirup napas dalam-dalam. Aku tahu dia sedang bersiap-siap untuk bercerita. Memikirkan masalah bagian mana yang akan ia ceritakan kepadaku. Atau barangkali ia sedang berpikir bagaimana cara menyusun kata yang tepat untuk menceritakan semuanya.
“Makasih udah datang ya, Mita.” Aku mengangguk sambil tersenyum. “Jujur, aku juga nggak tahu harus mulai cerita dari mana. Masalahku yang pertama nggak jauh-jauh dari keluarga, Mit. Aku punya dua kakak. Kami semua perempuan, tetapi dengan pencapaian yang berbeda-beda. Kakakku yang pertama, dia sangat cerdas. Nggak ada orang yang bisa meragukan kemampuan otaknya. Waktu seleksi masuk perguruan tinggi, dia lolos di PTN yang masuk top 3 di Indonesia. Tapi di satu sisi, dia juga dapet beasiswa buat kuliah kedokteran di London. Akhirnya dia ambil beasiswa itu. Sekarang, dia udah jadi dokter hebat.
“Kakakku yang kedua, dia pilih buat ambil perguruan tinggi di Indonesia aja. Kemampuan public speaking-nya nggak bisa diragukan lagi. Dia ambil Hubungan Internasional dulu, dan sekarang udah kerja di Kedubes Indonesia di Jepang. Kariernya bener-bener bikin orang-orang kagum, termasuk aku sendiri. Sedangkan aku sendiri, kacau. Aku gap year dua tahun, sampai akhirnya aku bisa kuliah di sini, dan meskipun udah di sini, IP-ku tiap semester nggak seberapa. Evaluasi tahap satu kemarin, aku kena peringatan, ini bikin orang tuaku marah besar dan bikin mereka malu ngakuin aku sebagai anaknya.”
Dia menatap langit, menahan tangis. Aku mengulum bibir sambil menepuk pundaknya. Kucatat masalah satu: perbandingan.
“Di sini juga, aku nggak punya temen. Semuanya punya ego tinggi. Aku nggak bisa berbaur sama mereka. Mereka semua menghindar mungkin karena aku nggak bisa mereka manfaatin. Aku bodoh. Bahkan tiap mau kelompokan aja aku susah dapet temen. Sampai ketua angkatanku kadang harus turun tangan.”
Aku merangkul bahunya. Kucatat lagi masalah kedua: dia kesepian.
“Di samping semua itu, aku cari penghiburan sendiri. Aku punya pacar. Dia yang awalnya kukira baik, yang mau nerima aku sewaktu teman-temanku ngejauhin aku, ternyata sama sekali di luar dugaanku. Hubungan kami bener-bener toxic. Bahkan aku sempet ngalamin beberapa kekerasan fisik. Nggak jarang juga aku dilecehin. Aku takut bilang ke siapa-siapa. Keberadaanku nggak diterima di mana-mana. Kalau aku ngomong, mungkin nggak ada juga orang yang mau dengar.”
Kali ini aku memeluknya. Tangisnya sudah tidak terbendung lagi. “Gatari, kamu nggak sendirian. Ada aku. Ada Allah yang selalu ngasih kita kemudahan. Semuanya bakal baik-baik aja. Kita laluin ini bareng-bareng,” ujarku menenangkan.
***
Aku sadar betul untuk mengatasi masalah Gatari, aku tidak mampu melakukannya sendiri. Pertama yang kulakukan adalah mencarikannya psikolog. Rencana selanjutnya, aku ingin mencoba meminta dukungan dari keluarga Gatari sendiri. Rencana ini sudah kudiskusikan bersama Diana dan ia bersedia membantuku untuk menghubungi keluarga Gatari sementara aku mencoba terus menemaninya.
Gatari rajin kutemani ke medical centre untuk menemui seorang psikolog. Baik aku maupun Gatari merasa sangat terbantu. Setiap malam sebelum tidur, Gatari ditugaskan untuk mengisi buku harian yang diberikan oleh psikolog yang kami datangi, untuk menuliskan segala sesuatu yang dialami di setiap harinya.
Kadangkala, Gatari juga tidak menolak saat kuajak menghadiri mentoring. Dia mengaku terbantu dan bersyukur bertemu teman-teman baru, membuatnya tak kesepian seperti dahulu. Raut wajahnya bisa kulihat berubah semakin hari. Semakin ceria dan penuh semangat.
Di samping mengikutiku saat ada mentoring, Gatari juga sering ikut aku mendatangi kajian-kajian baik yang diadakan pihak kampus atau bukan. Meskipun belum mengenakan hijab, Gatari juga mulai rajin menjalankan salat lima waktu padahal ia mengaku sebelumnya sangat jarang menunaikan salat.
“Semakin aku ngikutin kegiatan kamu, aku jadi mikir. Aku kebanyakan maksiat kali, ya? Aku jauh dari Allah kali, ya? Kayaknya Dia marah sama aku karena semua yang aku kejar ini semata-mata cuma bersifat duniawi yang ternyata bikin capek hidup.”
Aku tidak mengiyakan, tidak mau menilainya seperti itu. Juga tidak ingin melukai hatinya. Gatari hanya perlu pendekatan secara pelan-pelan.
“Allah nggak marah, Gatari. Nggak ada ujian yang Allah berikan melainkan karena umatnya bisa melaluinya. Kamu pasti bisa. Buktinya sekarang kamu merasa lebih baik, kan?” Gatari diam. Ia tersenyum sendu. “Jangan nyoba bunuh diri lagi, ya? Bunuh diri itu nggak cuma menghentikan masalah kamu. Kebahagiaan kamu juga akan berhenti. Kesenangan kamu juga berhenti. Waktu buat memperbaiki diri juga terputus. Kesempatan ini, cuma kita punyai satu kali. Jangan pernah sia-siakan. Banyak orang sakit di luaran sana yang pengen sembuh, manfaatkan hidup kita, kesehatan kita, dengan sebaik-baiknya.”
Gatari tersenyum manis. “Ajari aku bersyukur, Mit,” pintanya.
“Satu hal yang mungkin bisa jadi motivasi diri, sesuatu yang ada di tanganmu sekarang dan kamu sesali, bisa jadi adalah lanjutan kata ‘semoga’ milik orang lain sekarang. Allah mencintai hamba-Nya. Bersyukurlah dengan senantiasa mencoba meraih cinta-Nya, Gatari.”
“Ajari aku, Sasmita. Ajari aku.”
Aku mengambil sesuatu dari tasku, yang sudah kusiapkan sejak lama. Seakan aku tahu betul hari ini pasti akan ada. Aku mengeluarkan sebuah kain yang mungkin sanggup Gatari beli di mana-mana. Namun, hari ini aku ingin membuat kain itu memiliki makna lebih.
Gatari tersenyum menerimanya.
“Kamu cantik kalau pakai ini. Tapi jangan jadikan alasan pakai ini biar kamu terlihat cantik. Pakai ini, buat menjalani kewajiban Allah sebagai perempuan Islam yang sejati. Mari meraih cinta Allah bersama, Gatari.”
Sejak hari itu Gatari resmi berhijab. Mencoba berhijab pada dirinya maupun hatinya.
Sejak hari itu juga, aku tidak pernah melihat Gatari lagi di kampus. Bahkan sampai kudatangi di gedung fakultasnya, Gatari tidak ada. Di website forlap.ristekdikti, aku menemukan namanya, resmi mengundurkan diri dari kampus.
***
[Dua tahun kemudian]
Aku baru saja keluar dari medical centre untuk mencari tahu masalah perutku yang sakit tidak tertahankan. Penyakit maag-ku kambuh. Dokter bilang agar aku jangan sampai membahayakan kesehatan diri sendiri karena terlalu fokus mengerjakan skripsi. Aku hanya mengiyakan dan menerima resep untuk kutebus di bagian farmasi.
Tiba-tiba, seseorang meraih pundakku, secara refleks membuatku berbalik ke belakang. Kutemukan wajah orang yang tidak asing. Dia psikolog yang dulu membantuku mengatasi masalah Gatari.
“Kamu Sasmita, kan?”
“Ada apa ya, Bu?” Aku mengangguk ragu. Kenapa dia masih mengenaliku?
“Saya mau minta maaf sekaligus ngasih ini.” Dia memberiku sebuah buku harian yang sama persis dengan milik Gatari yang rutin dia isi setiap hari. “Dua tahun yang lalu, Gatari sempat bilang ke saya. Hubungan dia dan keluarganya jauh lebih baik katanya. Dia nggak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, sehingga waktu orang tuanya ngajak dia pindah, dia mau. Sebelumnya, dia balikin buku ini ke saya. Katanya suatu saat kamu bakal butuh buku ini. Bodohnya, buku itu saya letakkan di tempat barang-barang lama sampai saya temukan hari ini dan baru bisa saya berikan ke kamu sekarang. Terimalah, Sasmita. Maafkan saya karena nggak langsung memberikan ke kamu.”
Aku menerimanya. “Terima kasih,” kataku dengan sopan.
Aku pulang dan memutuskan untuk membaca buku itu di kamar. Diana sedang pulang kampung sehingga aku bisa sedikit leluasa. Buku itu, benar-benar menceritakan keseharian Gatari, membuatku merasa menonton film dokumenter yang tokohnya adalah aku dan dia. Sampai pada catatan terakhir, aku tersentak sendiri.

8 Februari 2018
Semenjak aku berbaikan dengan Mama & Papa, mereka menawariku untuk pindah. Bukan untuk apa-apa, namun lingkungan di sini katanya nggak baik buatku. Keluarga besarku kebanyakan di sini, dan mereka akan terus berceloteh tentang perbandingan yang membuat orang tuaku khawatir jika suatu saat aku kembali down. Keputusan mereka kutunda-tunda sebab aku belum sanggup mengatakannya kepada Sasmita.
Hari ini, setelah aku menerima kerudung dari Sasmita, aku memutuskan untuk mengiyakan keputusan itu. Aku juga minta Mama & Papa agar aku bisa memperdalam agamaku lagi nantinya. Meraih cinta Allah, seperti yang Sasmita bilang. Mereka benar-benar mendukungku, membuatku nggak menyesali keputusan itu.
Namun, sewaktu aku ingin berpamitan kepada Sasmita, aku merasa nggak sanggup. Dia nggak bisa aku ucapin “selamat tinggal, Mit”. Setelah banyak hal yang dia lakuin buatku, jujur aku nggak bisa. Bahkan buat kirim pesan atau telepon sekalipun. It hurts me, or maybe us.
Maaf, Mit. Aku pergi diam-diam. Suatu saat aku bakal kembali. Ayo kita meraih cinta Allah sama-sama meskipun udah nggak berpijak di tanah yang sama. Ukhuwah ini nggak akan pernah terputus sampai kapan pun. Saudariku, sampai bertemu kembali.

Aku menghela napas, tanpa sadar mengalir bulir bening di pipiku. Semoga, Gatari. Semoga kita bisa berjumpa kembali.

SELESAI




Well, sedikit cerita. Cerpen ini adalah cerita pendek yang pertama kubuat di tahun 2020 dalam rangka untuk mengikuti perlombaan yang diadakan oleh rohis sekolah vokasi di kampusku. Terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di lain cerita :)

-evi her

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi] | Novel "Write Me His Story"

Resensi Novel "Write Me His Story" Source :  https://www.goodreads.com/book/show/41550660-write-me-his-story 1. Identitas Buku Judul               : Write Me His Story Penulis             : Ary Nilandari Penerbit           : Pastel Books Tebal Buku     : 448 halaman Tahun Terbit   : 2018, Cetakan Pertama ISBN               : 978-602-6716-40-8 2. Sinopsis/Blurb : Wynter Mahardika tidak pernah menulis buku harian. Untuk apa? Enam belas tahun hidupnya berantakan. Mum, Dad, dan ibu tiri, hanya singgah sesaat lalu membiarkannya tumbuh seperti semak liar. Selain mata biru dan darah British-nya, tidak ada yang menarik untuk dicatat. Kejailannya pada cewek-cewek? Ah, itu cuma pelampiasan kebe...

[Puisi] | Roman "Hujan dan Perbincangan Denganmu Malam Ini"

Derai-derai air turun dengan rasa takut pada cerita kelammu yang tak pernah kau sampaikan pada mereka, pada mimpi-mimpi yang kau simpan, bahkan pada dirimu sendiri   Derai-derai air turun menciptakan sebuah permulaan bahwa hari ini kau mulai berhenti untuk terus mendengar—tapi juga ingin berbicara utarakan saja, teman utarakan segalanya seperti cerita-cerita orang lain yang mereka sampaikan kepadamu   Derai-derai air turun menemanimu mengutarakan segalanya utarakan saja, teman utarakan, seperti lagu Banda Neira yang kudengar setiap waktu   Lalu derai-derai air turun mulai tenang sudahkah kamu merasa lega hanya dengan bercerita? sudahkah kamu menemukan jawaban dari apa yang kamu cari sebelumnya? tidak perlu mengatakannya kepadaku karena satu-satunya orang yang memerlukannya adalah dirimu   Sekarang derai-derai air mulai ingin berhenti tidurlah, teman tidurlah karena larut sudah malam ini seperti apapun yang kita bicarakan ...

[Tapak Pertama] | Memulai Kembali

Halo. Lama tak berjumpa di dunia per-blog-an. Dulu aku pernah bikin blog, cuma udah lama nggak pernah tersentuh. Jadi, kuputuskan untuk membuat kembali. Vistuary sendiri aku pilih jadi nama blog-ku karena sejujurnya, awalnya blog ini mau kunamain pake nama pena. Tapi, akhir-akhir ini aku kurang sreg sama nama penaku sendiri. Setelah pusing akhirnya jreng! Aku pilih kata ini. Barangkali kalian nggak akan nemu artinya. Vistuary itu berasal dari kata "Estuary" yang artinya muara. Vi-nya dari namaku sendiri, jadi aku gabungin. Dengan kata lain, Vistuary ini kayak sebuah tempat yang jadi muaraku. Sebenarnya aku agak berdosa meninggalkan sepenggal karya yang belum usai di platform kepenulisan yang selama ini aku gunakan. Namun, akhir-akhir ini aku merasa jenuh. Alasanku kembali menulis di sini karena sebentar lagi liburan coi nanti aku gabut tidak bisa ngapa-ngapain jadi kuputuskan untuk menulis blog lagi. Isinya, apapun nanti, semoga kalian suka. Yang jelas, cata...