Derai-derai air turun dengan rasa takut pada cerita kelammu yang tak pernah kau sampaikan pada mereka, pada mimpi-mimpi yang kau simpan, bahkan pada dirimu sendiri Derai-derai air turun menciptakan sebuah permulaan bahwa hari ini kau mulai berhenti untuk terus mendengar—tapi juga ingin berbicara utarakan saja, teman utarakan segalanya seperti cerita-cerita orang lain yang mereka sampaikan kepadamu Derai-derai air turun menemanimu mengutarakan segalanya utarakan saja, teman utarakan, seperti lagu Banda Neira yang kudengar setiap waktu Lalu derai-derai air turun mulai tenang sudahkah kamu merasa lega hanya dengan bercerita? sudahkah kamu menemukan jawaban dari apa yang kamu cari sebelumnya? tidak perlu mengatakannya kepadaku karena satu-satunya orang yang memerlukannya adalah dirimu Sekarang derai-derai air mulai ingin berhenti tidurlah, teman tidurlah karena larut sudah malam ini seperti apapun yang kita bicarakan ...
Rumah Akhirnya, jiwaku tersesat di belantara asing, kala selaras pandang netra , tak bertemu dengan : permadani rimba, hamparan cakrawala jingga, mata air penyejuk dahaga, kicau burung bernada bahagia, kembang merona, dan; manusia-manusia yang masih punya rasa iba. Sebab yang kulihat sekarang, bukit nan permai tak lebih tinggi dari bukit sampah, lautan damai tak lebih luas dari lautan limbah, cerutu raksasa berpencar di mana-mana, dan bising mesin bahkan sanggup mengalahkan merdu syair pujangga —yang mencoba bersuara atas rapuhnya rumah kita. Tidakkah kalian merasakan tangisnya? Yang membawa hunian kalian tergenang Tidakkah kalian merasakan getarannya? Hingga mimpi dan tidur kalian tak tenang Tidakkah kalian merasakan amarahnya? Saat semuanya mulai memanas dan kutub dunia bahkan tak bisa bertahan Empatimu boleh binasa, tapi satu yang harus selalu kau ingat: bumi ini bukan jadi rumahmu saja, ini rumah kita, milik k...